Kasus Dugaan Korupsi Kapal Halsel Expres dan Pelantikan Kades Bermasalah, BARAH Bakal Demo di Kota Ternate

HALSEL, CN – Barisan Rakyat Halmahera Selatan (BARAH) menegaskan bakal menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Kota Ternate. Fokus utama aksi ini menyoroti dua kasus besar yang mencoreng wajah Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), yakni dugaan korupsi pengadaan kapal cepat Halsel Expres yang menyeret nama mantan Bupati Halsel, Muhammad Kasuba, serta kebijakan kontroversial Bupati Halsel, Hasan Ali Bassam Kasuba, yang nekat melantik empat Kepala Desa (Kades), meski diduga melanggar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon.

Ketua BARAH, Ady Hi Adam, menegaskan kasus dugaan korupsi Halsel Expres tidak boleh dibiarkan mengendap begitu saja. Menurutnya, proyek tahun anggaran 2006 senilai Rp 15,1 miliar itu telah merugikan negara hingga Rp 10,1 miliar, namun hingga kini penanganannya masih jalan di tempat.

“Nama mantan Bupati Halsel, Muhammad Kasuba, jelas-jelas terseret dalam proyek yang merugikan negara miliaran rupiah. Putusan praperadilan di PN Ternate bahkan sudah menyatakan SP3 Kejati Malut tidak sah. Artinya kasus ini wajib dibuka kembali dan diproses sampai tuntas,” tegas Ady, Rabu (1/10/2025).

Selain itu, BARAH juga menyoroti kebijakan Bupati Halsel Hasan Ali Bassam Kasuba yang baru-baru ini melantik empat Kades. Pelantikan itu dinilai cacat hukum karena diduga kuat bertentangan dengan putusan PTUN Ambon.

“Ini jelas bentuk pembangkangan terhadap hukum. Seorang kepala daerah seharusnya menjadi teladan dalam taat hukum, bukan justru melanggar putusan pengadilan. Apa yang dilakukan Bassam adalah pelecehan terhadap supremasi hukum dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat,” sambung Ady dengan nada keras.

BARAH memastikan tidak hanya akan menggelar aksi di Kota Ternate, tetapi juga akan melayangkan laporan resmi ke Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menuntut evaluasi serius terhadap Bupati Bassam Kasuba.

“Dugaan korupsi kapal Halsel Expres dan pelantikan empat Kades bermasalah adalah potret bobroknya kepemimpinan di Halsel. Sudah saatnya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, agar rakyat tidak terus-menerus menjadi korban,” tutup Ady. (Hardin CN)

AHM, Amran Mustari dan Almarhum AGK Jadi Tersangka, Lalu Kapan Kasus Dugaan Korupsi Kapal Halsel Expres Diusut?

HALSEL, CN – Sejumlah tokoh besar di Provinsi Maluku Utara (Malut) pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, kasus besar di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), terkait pengadaan kapal cepat Halsel Expres yang merugikan negara Rp 10,1 miliar hingga kini tak kunjung tuntas.

Pada 2018, Ahmad Hidayat Mus (AHM) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK saat masih menjadi calon Gubernur Malut. AHM yang kala itu menjabat Bupati Kepulauan Sula periode 2005–2010, bersama Zainal Mus, selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Sula periode 2009-2014. Keduanya disangka melakukan korupsi pembebasan lahan Bandara Bobong dari APBD 2009. Modusnya, Pemkab Sula seolah membeli lahan masyarakat, padahal lahan tersebut milik Zainal. Negara pun dirugikan Rp 3,4 miliar, dengan Rp 1,5 miliar diduga masuk ke rekening Zainal.

Sebelumnya, pada 2016, KPK juga menjerat Amran Hi Mustari, Kepala BPJN IX Maluku-Malut, dalam kasus suap proyek jalan KemenPUPR. Amran terbukti menerima Rp 13,78 miliar dan 202.816 dolar Singapura dari Direktur Utama PT WTU Abdul Khoir agar pengusaha itu mendapat proyek dana aspirasi.

Kemudian, pada 2024, KPK kembali menetapkan Gubernur Malut nonaktif almarhum Abdul Gani Kasuba (AGK) sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebelumnya, AGK sudah ditahan usai terjaring OTT pada Desember 2023.

Ironisnya, di tengah maraknya penindakan kasus korupsi di Malut, dugaan korupsi proyek kapal cepat Halsel Expres tahun anggaran 2006 sebesar Rp 15,1 miliar justru jalan di tempat. Dari jumlah itu, merugikan negara hingga Rp 10,1 miliar, dan menyeret nama mantan Bupati Halsel Muhammad Kasuba.

Mantan Divisi Humas Halmahera Corruption Watch (HCW) Malut, Ady Hi. Adam, menegaskan kasus ini pernah ditangani Kejati Malut. Bahkan, putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor: 01/Pid.PRA.TIPIKOR/2012/PN.Tte tanggal 25 Juni 2012 menyatakan SP3 yang dikeluarkan Kejati pada 4 Juni 2009 tidak sah.

“Waktu itu kami dari HCW Malut sebagai pemohon praperadilan, dan kami menang. Tapi hingga sekarang kasus kapal Halsel Express belum ada kejelasan,” tegas Ady, Rabu (1/10/2025).

Ady mendesak Kejati Malut segera menuntaskan kasus ini, sebagaimana KPK berani menjerat AHM, Amran, dan almarhum AGK.

“Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu. Jika ada yang merugikan negara, harus diproses dan ditangkap agar publik melihat hukum ditegakkan dengan adil,” tutupnya. (Hardin CN)

Bukti Kepedulian Nyata untuk Warga, Kades Tuwokona Pimpin Penyaluran BLT Tahap II 2025

HALSEL, CN – Pemerintah Desa (Pemdes) Tuwokona, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), kembali menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa (DD) Tahap II Tahun Anggaran 2025, sekaligus melunasi pembayaran insentif kelembagaan desa.

Kegiatan berlangsung di Aula Desa Tuwokona pada Selasa (30/9/2025), dipimpin langsung oleh Kepala Desa (Kades) Tuwokona, Nursanti Awal, S.Pd., M.Pd., yang selalu hadir di tengah masyarakat dalam setiap agenda penting desa. Turut hadir Kamtibmas Ipda Emil Laode, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), aparat desa, serta 20 Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Setiap KPM menerima BLT-DD sebesar Rp 1.500.000 sesuai ketentuan program Dana Desa. Dalam sambutannya, Kades Nursanti menegaskan komitmennya menjaga transparansi dan memastikan bantuan tepat sasaran.

“Penyaluran BLT ini adalah bentuk perhatian pemerintah desa terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama warga kurang mampu, lansia, penyandang disabilitas, dan penderita sakit menahun. Kami berharap bantuan ini meringankan kebutuhan sehari-hari sekaligus menjadi rezeki yang berkah bagi penerimanya,” ujar Kades Nursanti.

Selain BLT, Pemdes di bawah kepemimpinan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halsel ini juga menyalurkan insentif bagi pemangku jabatan desa, mulai dari kader PAUD, TPQ, Imam dan Badan Syariah, Posyandu, Linmas, LPM, Kalesang Tetangga, Lembaga Adat, hingga Guru Mengaji. Insentif tersebut telah dilunasi untuk periode Juni–Desember 2025.

Langkah cepat dan tepat ini diapresiasi warga sebagai bukti kepemimpinan Nursanti Awal yang visioner, peduli, dan konsisten memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Dengan tuntasnya penyaluran BLT-DD dan insentif ini, Desa Tuwokona kian optimis memperkuat pelayanan publik dan kinerja kelembagaan desa. (Hardin CN)

Jejak Pengabdian Seorang Guru Desa di Halsel

HALSEL, CN – Di sebuah desa kecil bernama Posi-Posi, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), pada tahun 1960 lahirlah seorang putra daerah yang kelak menjadi pelita bagi pendidikan di pelosok. Dialah Muhammad Hi. Ali, sosok pendidik yang hidupnya dipersembahkan sepenuhnya untuk mencerdaskan anak bangsa.

Sejak menamatkan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada tahun 1980, tekadnya sudah bulat, mendidik anak-anak desa, meski tanpa kepastian gaji, tanpa fasilitas layak, dan tanpa jaminan masa depan. Baginya, mengajar adalah panggilan jiwa.

Tahun 1982, ia mulai mengabdi di Madrasah Ibtidaiyah Desa Laluin, Kecamatan Kayoa Selatan. Selama 6 tahun, ia mengajar dengan penuh kesabaran. Imbalannya bukan gaji tetap, melainkan sumbangan sukarela dari masyarakat. Namun, ketidakpastian itu tidak pernah mampu memadamkan semangatnya.

Tahun 1989, masyarakat Dusun Ake Ici (kini Desa Loleo Mekar, Kecamatan Kasiruta Timur) meminta Muhammad mendirikan sekolah. Tanpa banyak pikir, ia mengiyakan. Sebuah madrasah pun berdiri dari keringat, doa, dan pengorbanannya. Ia kembali mengajar tanpa gaji, hanya hidup dari partisipasi masyarakat yang jumlahnya sering tak menentu.

Tiga tahun kemudian, tepatnya 1992, perjuangannya berlanjut di Dusun Bala-Bala (kini Desa Bala-Bala, Kecamatan Kasiruta Timur). Di sana, ia kembali merintis sebuah madrasah. Lagi-lagi, semua dijalani tanpa imbalan, hanya berlandaskan cinta terhadap ilmu dan anak-anak desa.

Beberapa tahun kemudian, ia bergabung di SDN Kou Bala-Bala sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT). Meski statusnya belum diangkat sebagai pegawai negeri, ia tetap setia mendidik, tahun demi tahun, dengan penuh keikhlasan.

Barulah pada tahun 2013, perjuangan panjang itu mendapat pengakuan negara. Di usia 53 tahun, Muhammad Hi. Ali resmi diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), di masa pemerintahan Bupati Dr. Hi. Muhammad Kasuba. Hanya tujuh tahun ia jalani sebagai PNS sebelum pensiun, namun pengangkatan itu adalah peneguhan bahwa dedikasinya selama puluhan tahun tak pernah sia-sia.

Pensiun bukanlah akhir baginya. Muhammad tetap mengajar di SDN Bala-Bala sebagai tenaga sukarela, meski tanpa bayaran. Namun, karena usia yang semakin renta, ia akhirnya menyampaikan pengunduran diri dengan hati berat.

Muhammad Hi. Ali adalah potret nyata ungkapan “guru tanpa tanda jasa.” Sejak awal 1980-an hingga masa tuanya, ia mendidik bukan demi gaji, melainkan demi panggilan hati. Dari tangannya, lahir generasi-generasi terdidik di Halsel, khususnya di Kayoa Selatan dan Kasiruta Timur.

Jejaknya adalah warisan berharga, bukan hanya bagi keluarga dan murid-muridnya, tetapi juga bagi sejarah pendidikan di negeri ini. Namanya mungkin tak tercatat dalam buku besar, tapi dalam hati anak-anak desa yang pernah disentuh oleh ilmunya, ia akan selalu hidup sebagai sang guru pengabdi. (Hardin CN)

PWI Malut Kutuk Oknum Wartawan Diduga Peras Guru SDN di Halsel

TERNATE, CN – Dunia pers di Provinsi Maluku Utara (Malut), kembali tercoreng akibat ulah seorang oknum wartawan bernama Haris, yang diduga kuat melakukan pemerasan terhadap seorang guru SDN di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel). Tindakan ini memicu kecaman keras dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malut.

Ketua PWI Malut, Asri Fabanyo, menegaskan bahwa dugaan pemerasan tersebut bukan saja merendahkan martabat profesi jurnalis, tetapi juga mencabik kehormatan pers di mata publik.

“Saya mengutuk keras aksi itu. Jika benar, tindakan ini jelas merusak citra dan marwah profesi jurnalis secara keseluruhan,” tegas Asri, Sabtu (27/9/2025).

Menurut Asri, wartawan seharusnya menjadi pengemban informasi dan pendidik publik. Profesi ini diikat oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas.

“Oknum yang menjual profesinya untuk kepentingan pribadi dengan cara memeras, sama saja menginjak-injak etika dan meruntuhkan standar moral jurnalisme. Itu bukan lagi kerja pers, melainkan kriminal,” tegasnya lagi.

Lebih jauh, tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga melanggar Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Negara memang menjamin kemerdekaan pers, namun kebebasan itu tidak bisa dipakai untuk menindas atau memeras pihak lain. Dalam konteks hukum pidana, perbuatan ini bisa dijerat sebagai tindak kriminal sesuai KUHP.

Asri menegaskan, aparat penegak hukum tidak boleh membiarkan kasus ini berlalu begitu saja. Pemerasan berkedok jurnalistik adalah kejahatan ganda, merusak nama baik orang lain sekaligus mempermalukan profesi wartawan.

“Kami sangat menyesalkan tindakan tidak bertanggung jawab ini. Proses hukum harus ditegakkan agar ada efek jera. Kalau tidak ditindak tegas, dunia pers akan semakin rusak oleh ulah oknum yang memalukan ini,” tegas Asri yang juga Pemimpin Redaksi HalmaheraRaya.id.

Karena itu, PWI Malut kini mendorong kepolisian segera mengusut tuntas dugaan pemerasan tersebut. Hanya dengan langkah hukum yang tegas, kepercayaan publik terhadap pers bisa dipulihkan, dan oknum yang mengkhianati profesinya dapat mendapat hukuman setimpal. (Hardin CN)

Praktik Kotor, Oknum Wartawan Diduga Peras Guru SDN 246 Halsel

HALSEL, CN – Dunia pers di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), tercoreng akibat ulah seorang oknum wartawan media online bernama Haris. Ia diduga kuat melakukan praktik kotor berupa pemberitaan sepihak terhadap seorang guru, lalu meminta uang agar berita tersebut bisa dihapus.

Kasus ini mencuat setelah Haris menulis berita berjudul “Skandal di SDN 246 Gilalang: Guru Jarang Masuk Kelas, Kuasai Rumah Dinas, Kepala Sekolah Terlantar”. Artikel tersebut dianggap tidak berimbang, tidak menguji kebenaran informasi, serta menutup hak jawab pihak yang diberitakan, yakni guru Ati Din.

Ironisnya, alih-alih memberi ruang klarifikasi sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Haris justru diduga meminta Rp1,5 juta kepada pihak guru agar persoalan pemberitaan itu dianggap selesai.

“Kalau hak jawab tetap diabaikan, kami akan laporkan ke Dewan Pers dan pihak kepolisian. Selain melanggar etika, ada dugaan kuat praktik pemerasan,” tegas keluarga korban, Sabtu (27/9/2025).

Padahal, hak jawab adalah kewajiban mutlak pers. Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik jelas menegaskan bahwa media harus melayani hak jawab. Mengabaikannya berarti pelanggaran etik, apalagi jika disertai dugaan pemerasan. Tindakan ini bukan hanya mencederai martabat profesi jurnalis, tetapi juga bisa menyeret pelaku ke ranah hukum pidana.

Praktik menjual berita atau meminta imbalan uang atas nama pemberitaan adalah bentuk penyalahgunaan profesi. Ulah segelintir oknum seperti Haris memperburuk citra wartawan di mata publik dan meruntuhkan kepercayaan terhadap pers di Halsel.

Meski membantah, alasan Haris dinilai tidak logis. Ia berkilah hanya mengirim nomor rekening perusahaan setelah diminta pihak guru untuk menghapus berita. Namun faktanya, hingga kini hak jawab tidak pernah dipenuhi. Bantahan tersebut justru semakin memperkuat dugaan adanya transaksi terselubung dalam kasus ini.

Sehingga itu, masyarakat, terutama kalangan pendidik, mengecam keras praktik kotor tersebut. Mereka menilai jurnalis seharusnya menyampaikan informasi yang benar, bukan menjadikan berita sebagai alat tawar-menawar.

Kini, Dewan Pers dan aparat penegak hukum menjadi sorotan publik. Jika dugaan pemerasan ini terbukti, Haris harus diseret ke meja hukum. Sebab, tanpa penindakan tegas, dunia pers di Halsel terancam makin kehilangan wibawa akibat ulah oknum yang menjadikan profesi mulia ini sebagai kedok pemerasan. (Hardin CN)