HALSEL, CN — Di sebuah Desa yang sunyi, di sudut Selatan Kayoa yang bersisian dengan samudera dan batu-batu rijang yang tak pernah lelah menantang ombak, lahirlah seorang anak bernama Rusdi Somadayo. Ia lahir bukan hanya dari rahim seorang ibu, tetapi juga dari rahim zaman yang menuntut pengabdian.
Putra Desa Orimakurunga itu, yang lahir pada 31 Agustus 1971, bukanlah tokoh yang tumbuh di bawah gemerlap kota, melainkan ditempa oleh kerasnya hidup dan tajamnya batu rijang. M. Reza A. Syadik menyebutnya dengan metafora menyayat, “Mutiara Kayoa Selatan dari Negeri Singkong yang penuh Batu Rijang.”
Itulah Rusdi, seorang pendidik di SMP Negeri Mafa, yang menyiram benih pengetahuan di tanah kering Gane Timur. Dari sana, ia melangkah bukan demi jabatan, tetapi demi jejak yang berarti.
Jejak yang Ditulis dengan Peluh, Bukan Tinta
Ketika angin perubahan berembus ke Halsel, Bupati Muhammad Kasuba memercayakan Rusdi Somadayo untuk memimpin Dinas Pertambangan. Ia tidak datang membawa ambisi, melainkan visi. Pulau Obi, yang selama ini menjadi ladang emas orang lain, mulai disulapnya menjadi ruang harapan bagi rakyat sendiri.
Tak lama, ia pun digeser untuk memimpin Dinas Lingkungan Hidup. Di sini, Rusdi bukan sekadar pejabat. Ia menjadi pemimpi yang menggambar masa depan: Taman Pantai Mongga, penataan median jalan kota Labuha, pasar Tembal yang jadi nadi ekonomi rakyat. Semuanya adalah tafsir cinta pada tanah kelahiran.
Upayanya itu bahkan berbuah Adipura dari kementerian pusat. Tapi sebagaimana matahari yang terbenam meski memberi cahaya, semangat itu kini terasa meredup dan itu membuat kita rindu pada gebrakannya yang dulu.
Menjulang Tapi Tetap Membumi
Jejak Rusdi tak berhenti di tanah kelahirannya. Ia menyeberangi lautan, menembus batas pulau, hingga menjabat sebagai staf khusus Bupati Morotai dan dipercaya mengabdi di Kementerian Perhubungan. Dari Bitung hingga Balikpapan, dari Tobelo hingga Jayapura, ia tak pernah meninggalkan kompas nilai-nilai pengabdian yang membentuknya.
Di Tobelo, ia menoreh sejarah dengan menjadikan pelabuhan sebagai Eco Port, pelabuhan hijau yang bersahabat dengan bumi. Dan kini, di Jayapura sebagai Kepala Disnav Kelas II, ia memikul tanggung jawab besar, namun tetap berjalan dengan jiwa kecil seorang guru dari Mafa.
Batu Rijang Tak Pernah Retak
Rusdi Somadayo bukan sekadar pejabat. Ia adalah pelajaran hidup. Ia adalah saksi bahwa mimpi anak kampung tidak harus berhenti di batas peta. Ia adalah bukti bahwa jabatan bisa menjadi ladang ibadah, bukan menara kuasa.
Dalam dunia yang kehilangan keteladanan, Rusdi adalah oase yang menyentuh, bahwa kepemimpinan tidak selalu harus keras, tapi bisa hadir seperti embun. Diam, namun menghidupkan.
Sebagaimana pesan Tan Malaka:
“Terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Energi Harum dari Selatan
Kini, Negeri Saruma memanggil. Kebutuhan akan tokoh yang bukan hanya paham teori, tetapi pernah mencangkul harapan bersama rakyat, kian mendesak. Rusdi Somadayo, mungkin adalah jawaban dari doa-doa diam para ibu di dusun dan langkah-langkah sunyi para petani yang rindu keadilan.
Sebagaimana M. Reza A. Syadik menegaskan,
“Rusdi bukan hanya birokrat. Ia adalah energi harum dari Selatan, batu rijang yang tak mudah retak oleh zaman.”
Dan motto hidupnya akan selalu kita kenang:
“Memimpin bukan soal menunjukkan kuasa, tapi bagaimana keputusan kita menyentuh dan menguatkan sesama.” (Hardin CN)
Komentar