Nahkodai HPM Halsel 2025–2027, Sahjid: Menciptakan Masa Depan yang Hijau

HALSEL, CN — Semangat baru tengah menyala di Kabupaten Halmahera Selatan, (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut). Sosok muda penuh inspirasi, Sahjid H. Ajudin, resmi terpilih sebagai Formatur Himpunan Petani Milenial (HPM) Halsel, periode 2025–2027 beberapa hari lalu. Terpilihnya Sahjid menjadi titik awal kebangkitan generasi muda tani di Bumi Saruma.

Dengan semangat pantang menyerah dan visi besar membangun kemandirian pangan daerah, Sahjid bertekad menjadikan HPM-Halsel sebagai wadah produktif bagi anak-anak muda untuk kembali mencintai dunia pertanian.

Ia menegaskan bahwa pertanian bukan profesi kuno, melainkan masa depan yang menjanjikan jika dikelola dengan inovasi dan teknologi modern.

“Anak muda Halsel harus bangga menjadi petani! Kita bukan hanya menanam, tapi juga menciptakan masa depan yang hijau, mandiri, dan berdaya saing,” ujar Sahjid penuh semangat, Minggu (5/10).

Pemilihan Sahjid H. Ajudin disambut antusias oleh berbagai kalangan. Para petani muda menilai kehadirannya akan membawa perubahan besar, terutama dalam mengembangkan pertanian berbasis teknologi, kewirausahaan, dan nilai-nilai kemandirian ekonomi.

Sehingga itu, setelah resmi menahkodai HPM Halsel, Sahjid bilang, langka awal kepemimpinannya akan difokuskan pada pelatihan digitalisasi pertanian, penguatan koperasi milenial, serta pengembangan komoditas unggulan lokal yang mampu menembus pasar nasional.

“Himpunan Petani Milenial Halsel kini bersiap menatap masa depan dengan penuh keyakinan. Insya Allah, pertanian Halsel menuju masa keemasan baru!,” tukas Sahjid, sembari mengatakan bahwa kehadiran HPM di Halsel akan mampu melahirkan generasi petani modern yang bukan hanya bekerja di ladang, tetapi juga berpikir global dan bertindak inovatif. (Hardin CN)

Oknum Pejabat Disparbud Halsel Diduga Jadi Mafia Miras Berlabel

HALSEL, CN – Seorang oknum pejabat di lingkungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), diduga terlibat dalam praktik ilegal pendistribusian minuman keras (miras) berlabel ke sejumlah cafe dan hotel di wilayah Halsel.

Pejabat yang diketahui bernama Iksan Jasmir, menjabat sebagai salah satu Kepala Seksi di Disparbud Halsel. Ia diduga memanfaatkan rekomendasi peredaran miras di kawasan wisata sebagai kedok untuk memasok miras dari luar daerah.

Berdasarkan hasil penelusuran media ini, Iksan diketahui menggunakan surat rekomendasi legal yang digunakan untuk mendatangkan miras berlabel dari Manado ke Halmahera Selatan melalui jalur laut. Surat ilegal peredaran miras berlebel tersebut diperuntukkan bagi hotel dan tempat wisata yang dikunjungi wisatawan mancanegara.

Namun, praktik ini dinilai bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Larangan Peredaran Minuman Keras di wilayah Halmahera Selatan. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa peredaran segala jenis minuman keras, baik berlabel maupun tidak dilarang keras di seluruh wilayah kabupaten.

Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa miras berlabel kini beredar bebas di sejumlah kafe umum, seperti Cafe Bungalow milik Tiong San dan Fortune milik Ko Hin. Kondisi ini mengindikasikan adanya penyalahgunaan rekomendasi untuk bisnis ilegal.

Terpisah, Iksan ketika dikonfirmasi tidak membantah adanya pengiriman minuman keras berlabel dari Manado ke Halsel. “Iya, kita memang punya rekomendasi tersebut, makanya dikirim minuman berlabel dari Manado ke Halsel,” ujarnya.

Ia berdalih, distribusi tersebut hanya ditujukan bagi hotel berbintang tiga ke atas di wilayah Halsel.

“Minuman berlabel hanya dipasok ke hotel berbintang tiga. Jadi, Sali dan beberapa resort di Halsel masuk dalam kategori hotel berbintang tiga,” pungkasnya. (Hardin CN)

Jejak Pengabdian Seorang Guru Desa di Halsel

HALSEL, CN – Di sebuah desa kecil bernama Posi-Posi, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), pada tahun 1960 lahirlah seorang putra daerah yang kelak menjadi pelita bagi pendidikan di pelosok. Dialah Muhammad Hi. Ali, sosok pendidik yang hidupnya dipersembahkan sepenuhnya untuk mencerdaskan anak bangsa.

Sejak menamatkan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada tahun 1980, tekadnya sudah bulat, mendidik anak-anak desa, meski tanpa kepastian gaji, tanpa fasilitas layak, dan tanpa jaminan masa depan. Baginya, mengajar adalah panggilan jiwa.

Tahun 1982, ia mulai mengabdi di Madrasah Ibtidaiyah Desa Laluin, Kecamatan Kayoa Selatan. Selama 6 tahun, ia mengajar dengan penuh kesabaran. Imbalannya bukan gaji tetap, melainkan sumbangan sukarela dari masyarakat. Namun, ketidakpastian itu tidak pernah mampu memadamkan semangatnya.

Tahun 1989, masyarakat Dusun Ake Ici (kini Desa Loleo Mekar, Kecamatan Kasiruta Timur) meminta Muhammad mendirikan sekolah. Tanpa banyak pikir, ia mengiyakan. Sebuah madrasah pun berdiri dari keringat, doa, dan pengorbanannya. Ia kembali mengajar tanpa gaji, hanya hidup dari partisipasi masyarakat yang jumlahnya sering tak menentu.

Tiga tahun kemudian, tepatnya 1992, perjuangannya berlanjut di Dusun Bala-Bala (kini Desa Bala-Bala, Kecamatan Kasiruta Timur). Di sana, ia kembali merintis sebuah madrasah. Lagi-lagi, semua dijalani tanpa imbalan, hanya berlandaskan cinta terhadap ilmu dan anak-anak desa.

Beberapa tahun kemudian, ia bergabung di SDN Kou Bala-Bala sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT). Meski statusnya belum diangkat sebagai pegawai negeri, ia tetap setia mendidik, tahun demi tahun, dengan penuh keikhlasan.

Barulah pada tahun 2013, perjuangan panjang itu mendapat pengakuan negara. Di usia 53 tahun, Muhammad Hi. Ali resmi diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), di masa pemerintahan Bupati Dr. Hi. Muhammad Kasuba. Hanya tujuh tahun ia jalani sebagai PNS sebelum pensiun, namun pengangkatan itu adalah peneguhan bahwa dedikasinya selama puluhan tahun tak pernah sia-sia.

Pensiun bukanlah akhir baginya. Muhammad tetap mengajar di SDN Bala-Bala sebagai tenaga sukarela, meski tanpa bayaran. Namun, karena usia yang semakin renta, ia akhirnya menyampaikan pengunduran diri dengan hati berat.

Muhammad Hi. Ali adalah potret nyata ungkapan “guru tanpa tanda jasa.” Sejak awal 1980-an hingga masa tuanya, ia mendidik bukan demi gaji, melainkan demi panggilan hati. Dari tangannya, lahir generasi-generasi terdidik di Halsel, khususnya di Kayoa Selatan dan Kasiruta Timur.

Jejaknya adalah warisan berharga, bukan hanya bagi keluarga dan murid-muridnya, tetapi juga bagi sejarah pendidikan di negeri ini. Namanya mungkin tak tercatat dalam buku besar, tapi dalam hati anak-anak desa yang pernah disentuh oleh ilmunya, ia akan selalu hidup sebagai sang guru pengabdi. (Hardin CN)

PWI Malut Kutuk Oknum Wartawan Diduga Peras Guru SDN di Halsel

TERNATE, CN – Dunia pers di Provinsi Maluku Utara (Malut), kembali tercoreng akibat ulah seorang oknum wartawan bernama Haris, yang diduga kuat melakukan pemerasan terhadap seorang guru SDN di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel). Tindakan ini memicu kecaman keras dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malut.

Ketua PWI Malut, Asri Fabanyo, menegaskan bahwa dugaan pemerasan tersebut bukan saja merendahkan martabat profesi jurnalis, tetapi juga mencabik kehormatan pers di mata publik.

“Saya mengutuk keras aksi itu. Jika benar, tindakan ini jelas merusak citra dan marwah profesi jurnalis secara keseluruhan,” tegas Asri, Sabtu (27/9/2025).

Menurut Asri, wartawan seharusnya menjadi pengemban informasi dan pendidik publik. Profesi ini diikat oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas.

“Oknum yang menjual profesinya untuk kepentingan pribadi dengan cara memeras, sama saja menginjak-injak etika dan meruntuhkan standar moral jurnalisme. Itu bukan lagi kerja pers, melainkan kriminal,” tegasnya lagi.

Lebih jauh, tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga melanggar Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Negara memang menjamin kemerdekaan pers, namun kebebasan itu tidak bisa dipakai untuk menindas atau memeras pihak lain. Dalam konteks hukum pidana, perbuatan ini bisa dijerat sebagai tindak kriminal sesuai KUHP.

Asri menegaskan, aparat penegak hukum tidak boleh membiarkan kasus ini berlalu begitu saja. Pemerasan berkedok jurnalistik adalah kejahatan ganda, merusak nama baik orang lain sekaligus mempermalukan profesi wartawan.

“Kami sangat menyesalkan tindakan tidak bertanggung jawab ini. Proses hukum harus ditegakkan agar ada efek jera. Kalau tidak ditindak tegas, dunia pers akan semakin rusak oleh ulah oknum yang memalukan ini,” tegas Asri yang juga Pemimpin Redaksi HalmaheraRaya.id.

Karena itu, PWI Malut kini mendorong kepolisian segera mengusut tuntas dugaan pemerasan tersebut. Hanya dengan langkah hukum yang tegas, kepercayaan publik terhadap pers bisa dipulihkan, dan oknum yang mengkhianati profesinya dapat mendapat hukuman setimpal. (Hardin CN)

Praktik Kotor, Oknum Wartawan Diduga Peras Guru SDN 246 Halsel

HALSEL, CN – Dunia pers di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), tercoreng akibat ulah seorang oknum wartawan media online bernama Haris. Ia diduga kuat melakukan praktik kotor berupa pemberitaan sepihak terhadap seorang guru, lalu meminta uang agar berita tersebut bisa dihapus.

Kasus ini mencuat setelah Haris menulis berita berjudul “Skandal di SDN 246 Gilalang: Guru Jarang Masuk Kelas, Kuasai Rumah Dinas, Kepala Sekolah Terlantar”. Artikel tersebut dianggap tidak berimbang, tidak menguji kebenaran informasi, serta menutup hak jawab pihak yang diberitakan, yakni guru Ati Din.

Ironisnya, alih-alih memberi ruang klarifikasi sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Haris justru diduga meminta Rp1,5 juta kepada pihak guru agar persoalan pemberitaan itu dianggap selesai.

“Kalau hak jawab tetap diabaikan, kami akan laporkan ke Dewan Pers dan pihak kepolisian. Selain melanggar etika, ada dugaan kuat praktik pemerasan,” tegas keluarga korban, Sabtu (27/9/2025).

Padahal, hak jawab adalah kewajiban mutlak pers. Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik jelas menegaskan bahwa media harus melayani hak jawab. Mengabaikannya berarti pelanggaran etik, apalagi jika disertai dugaan pemerasan. Tindakan ini bukan hanya mencederai martabat profesi jurnalis, tetapi juga bisa menyeret pelaku ke ranah hukum pidana.

Praktik menjual berita atau meminta imbalan uang atas nama pemberitaan adalah bentuk penyalahgunaan profesi. Ulah segelintir oknum seperti Haris memperburuk citra wartawan di mata publik dan meruntuhkan kepercayaan terhadap pers di Halsel.

Meski membantah, alasan Haris dinilai tidak logis. Ia berkilah hanya mengirim nomor rekening perusahaan setelah diminta pihak guru untuk menghapus berita. Namun faktanya, hingga kini hak jawab tidak pernah dipenuhi. Bantahan tersebut justru semakin memperkuat dugaan adanya transaksi terselubung dalam kasus ini.

Sehingga itu, masyarakat, terutama kalangan pendidik, mengecam keras praktik kotor tersebut. Mereka menilai jurnalis seharusnya menyampaikan informasi yang benar, bukan menjadikan berita sebagai alat tawar-menawar.

Kini, Dewan Pers dan aparat penegak hukum menjadi sorotan publik. Jika dugaan pemerasan ini terbukti, Haris harus diseret ke meja hukum. Sebab, tanpa penindakan tegas, dunia pers di Halsel terancam makin kehilangan wibawa akibat ulah oknum yang menjadikan profesi mulia ini sebagai kedok pemerasan. (Hardin CN)

Bupati Halsel Dituding “Injak” Hukum, DPRD Didesak Makzulkan Bassam Kasuba

HALSEL – CN – Barisan Rakyat Halmahera Selatan (BARAH) bersama Gerakan Pemuda Marhaenisme (GPM) mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), Kamis (25/9/2025) pukul 10.30 WIT. Massa aksi menuntut DPRD segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) dan merekomendasikan pemakzulan Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Tuntutan itu muncul lantaran Bupati Bassam Kasuba nekat melantik empat Kepala Desa (Kades) meski Surat Keputusan (SK)-nya telah dibatalkan oleh PTUN Ambon. Dalam orasinya, Ketua GPM Halsel, Harmain Rusli menegaskan bahwa tindakan Bupati tersebut sebagai pelanggaran hukum serius yang tidak bisa ditoleransi.

“Bupati telah menabrak putusan PTUN yang bersifat final dan mengikat. Lebih parah lagi, ia melanggar berbagai aturan perundang-undangan,” tegas Harmain.

Adapun aturan yang dimaksud antara lain:

UU No. 6 Tahun 2014 jo. UU No. 3 Tahun 2014 tentang Desa,

Permendagri No. 82 Tahun 2015 jo. Permendagri No. 66 Tahun 2017 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa,

Perda No. 7 Tahun 2015 tentang tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala desa,

Perbup No. 10 Tahun 2022 tentang teknis pemilihan kepala desa di Halsel.

Harmain menegaskan, putusan pengadilan TUN wajib dijalankan. Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986 yang diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 jelas menyebut setiap putusan inkracht wajib dilaksanakan pejabat TUN.

“Bupati tidak boleh menerbitkan SK baru dengan substansi yang sama, apalagi melantik kembali orang yang sama. Itu pelecehan hukum,” ujar Harmain.

Ia menilai, langkah Bupati menggunakan diskresi untuk melantik empat Kades sebagai blunder fatal yang mencederai supremasi hukum. Lebih jauh, hal itu juga dianggap sebagai pelanggaran sumpah jabatan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga layak diusulkan untuk diberhentikan.

Selain menekan Bupati, massa aksi juga menuding Komisi I DPRD Halsel “masuk angin” di bawah pimpinan Nawir (PKS), karena menghambat rapat lintas komisi. BARAH dan GPM mendesak DPRD secara kelembagaan segera mengeluarkan rekomendasi pemakzulan terhadap Bupati Bassam Kasuba.

“Jika DPRD mengabaikan tuntutan ini, kami akan terus mengawal kasus ini hingga ke tingkat tertinggi di Kemendagri,” tutup Harmain dalam orasinya. (Hardin CN)