HALSEL, CN – Di sebuah desa kecil bernama Posi-Posi, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), pada tahun 1960 lahirlah seorang putra daerah yang kelak menjadi pelita bagi pendidikan di pelosok. Dialah Muhammad Hi. Ali, sosok pendidik yang hidupnya dipersembahkan sepenuhnya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Sejak menamatkan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada tahun 1980, tekadnya sudah bulat, mendidik anak-anak desa, meski tanpa kepastian gaji, tanpa fasilitas layak, dan tanpa jaminan masa depan. Baginya, mengajar adalah panggilan jiwa.
Tahun 1982, ia mulai mengabdi di Madrasah Ibtidaiyah Desa Laluin, Kecamatan Kayoa Selatan. Selama 6 tahun, ia mengajar dengan penuh kesabaran. Imbalannya bukan gaji tetap, melainkan sumbangan sukarela dari masyarakat. Namun, ketidakpastian itu tidak pernah mampu memadamkan semangatnya.
Tahun 1989, masyarakat Dusun Ake Ici (kini Desa Loleo Mekar, Kecamatan Kasiruta Timur) meminta Muhammad mendirikan sekolah. Tanpa banyak pikir, ia mengiyakan. Sebuah madrasah pun berdiri dari keringat, doa, dan pengorbanannya. Ia kembali mengajar tanpa gaji, hanya hidup dari partisipasi masyarakat yang jumlahnya sering tak menentu.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 1992, perjuangannya berlanjut di Dusun Bala-Bala (kini Desa Bala-Bala, Kecamatan Kasiruta Timur). Di sana, ia kembali merintis sebuah madrasah. Lagi-lagi, semua dijalani tanpa imbalan, hanya berlandaskan cinta terhadap ilmu dan anak-anak desa.
Beberapa tahun kemudian, ia bergabung di SDN Kou Bala-Bala sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT). Meski statusnya belum diangkat sebagai pegawai negeri, ia tetap setia mendidik, tahun demi tahun, dengan penuh keikhlasan.
Barulah pada tahun 2013, perjuangan panjang itu mendapat pengakuan negara. Di usia 53 tahun, Muhammad Hi. Ali resmi diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), di masa pemerintahan Bupati Dr. Hi. Muhammad Kasuba. Hanya tujuh tahun ia jalani sebagai PNS sebelum pensiun, namun pengangkatan itu adalah peneguhan bahwa dedikasinya selama puluhan tahun tak pernah sia-sia.
Pensiun bukanlah akhir baginya. Muhammad tetap mengajar di SDN Bala-Bala sebagai tenaga sukarela, meski tanpa bayaran. Namun, karena usia yang semakin renta, ia akhirnya menyampaikan pengunduran diri dengan hati berat.
Muhammad Hi. Ali adalah potret nyata ungkapan “guru tanpa tanda jasa.” Sejak awal 1980-an hingga masa tuanya, ia mendidik bukan demi gaji, melainkan demi panggilan hati. Dari tangannya, lahir generasi-generasi terdidik di Halsel, khususnya di Kayoa Selatan dan Kasiruta Timur.
Jejaknya adalah warisan berharga, bukan hanya bagi keluarga dan murid-muridnya, tetapi juga bagi sejarah pendidikan di negeri ini. Namanya mungkin tak tercatat dalam buku besar, tapi dalam hati anak-anak desa yang pernah disentuh oleh ilmunya, ia akan selalu hidup sebagai sang guru pengabdi. (Hardin CN)