oleh

Teknologi Informasi Biometrik, Nirmiliter Lanjutan Setelah Corona. Indonesia Bisa Apa?

Oleh: Yardi Harun (Ketua Umum PMII Cabang Minahasa 2013-2014)

Bicara Teknologi Informasi Biometrik memang masih terasa asing bagi kalangan masyarakat awam tetapi disebagian kalangan tertentu semisal aktivis, akademisi dan pegiat geopolitik, isu seperti ini menarik untuk eksplorasi untuk kepentingan pengetahuan dan strategi negara.

Teknologi informasi biometrik biasanya digunakan dalam dunia intelijen untuk mengawasi setiap aktifitas warga yang berpotensi mengancam stabilitas sosial bahkan negara. Dalam dunia teknologi informasi, biometrik relevan dengan teknologi yang digunakan untuk menganalisis fisik dan kelakuan manusia dalam autentifikasi.

Apa yang dilakukan hari ini oleh China dalam menyelesaikan penyebaran covid-19 salah satunya mengandalkan alat biometrik yang dimilikinya. Respons Israel atas situasi penyebaran covid-19 ini hampir kurang lebih sama dengan China, hanya pendekatan teknologi pengawasan yang digunakan Israel sebelumnya berbeda dimana diperuntukan untuk memerangi teroris.

Kabar baik dari penggunaan teknologi informasi biometrik salah satunya adalah upaya tanggap secara cepat dan memperkecil angka kematian manusia akibat virus dan wabah sejenisnya. Kabar buruknya negara bisa mengintervensi privasi seseorang termasuk mengendalikan alam bawah sadar, mungkin!

Parahnya lagi, dunia dalam kondisi multipolar negara-negara Superpower seperti Rusia, China dan Amarika berlomba-lomba menunjukan kekuatan nirmiliter dengan menggunakan teknologi infomasi biometrik yang mereka ciptakan dan dijual dikemudian hari di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, apa yang terjadi selanjutnya? ketergantungan akan semakin kuat dan penduduk bisa dikendalikan cara berpikirnya termasuk negara. Ini harus diperhitungkan dengan matang karena berkonsekuensi buruk bagi rakyat Indonesia ketika negara abai terhadap keselamatan warga negara dan kepentingan nasional.

Teknologi informasi biometrik mampu menganalisis fisik dan kelakuan manusia bisa saja punya kemampuan membaca riwayat penyakit bawaan, ini potensi pembantai masal yang masif seperti ketidakmampuan italia membendung penyebaran Covid-19 dan memakan korban jiwa. Hal diatas bisa saja terjadi disemua negara apabila China dan Amerika terus melakukan perang dengan senjata biologi memodifikasi virus baru mematikan yang menyasar penyakit bawaan diatas terhadap penduduk atau suatu negara yang dianggap bukan sekutu. Tentu ini menjadi ancaman untuk umat manusia bukan hanya Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia hari ini, apakah punya alat sejenis biometrik menekan penyebaran corona ? Rasa-rasanya tidak, angka statistik terpapar dan positif corona semakin meningkat dan tidak terkendali, Pada Senin kemarin (30/03) terdapat 129 kasus baru positif corona sehingga jumlah total menjadi 1.414 kasus. Dari 1.414 pasien tersebut, 75 orang yang dinyatakan telah sembuh sementara mereka yang meninggal dunia mencapai 122 orang, peringkat ke-2 di dunia korban meninggal terpapar corona setelah italia.

Dengan teknologi yang terbatas, segala upaya pemerintah dengan menekan penyebaran covid-19 nampaknya kurang berhasil sampai akhirnya mengambil keputusan menaikan status darurat sipil yang bisa berpotensi konflik ditengah masyarakat. Benar yang disampaikan Pengamat hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Muhtar Said yang heran dengan rencana digulirkan oleh pemerintahan Joko Widodo, lebih baik pemerintah pusat menggunakan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018). Ia meyakini dengan menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan sudah efektif untuk menanggulangi wabah Covid-19.

Dengan pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial secara besar disertai dengan darurat sipil akan berpotensi membatasi media dan bisa juga mengarah ke larangan menggunakan peralatan telekomunikasi. Bagaimana dengan orang-orang yang tinggal dipelosok desa yang diduga terpapar covid-19 dan tidak punya sama sekali akses jaringan telekomunikasi? Apakah kematian mereka nanti hanya dianggap sebagai angka-angka statistik. Bayangan saya bila akumulasi situasi terjadi akan terjadi chaos, ketika chaos status akan ditingkatkan menjadi darurat militer, potensi negara menjadi otoriter.

Sumber :

Sebuah Dunia Setelah Corona, Yuval Noah Harari, penulis buku ‘’Sapiens”, ‘’Homo Deus” dan ‘’21 Lessons for the 21st Century’’)
The Financial Times 21/3/2020.

banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250

Komentar